
Rasulullah ﷺ pernah membuat gambaran indah tentang persaudaraan antar pemeluk agama Islam. Beliau melukiskan bahwa persaudaraan dalam ikatan keislaman itu seperti satu tubuh. Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir berbunyi:
مثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وتَرَاحُمِهِمْ وتَعاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَداعَى لهُ سائِرُ الْجسدِ بالسهَرِ والْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman, dalam saling mencintai, saling menyantuni sesama mereka, adalah laksana kesatuan tubuh. Apabila satu bagian dari tubuh itu menderita sakit, maka seluruh badan turut merasakannya.” (HR. Muslim)
Sungguh indah apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ. Betapa erat, dekat, dan akrab hubungan sesama muslim. Meski pun ada perbedaan: perbedaan mazhab, politik, warna kulit, suku dan bangsa, namun kita tetap satu tubuh, kita tetap harus saling bersaudara dalam ikatan keislaman. Inilah yang disebut ukhuwah islamiyah.
Ukhuwah Islamiyah mudah diucapkan, tapi yang sulit adalah praktik dan aplikasinya dalam berbagai situasi serta kondisi kehidupan sehari-hari. Namun, perlu disadari bahwa mewujudkan persaudaraan Islam dalam arti yang sebenarnya merupakan kewajiban setiap Muslim.
Setidaknya ada tiga hal yang harus kita lakukan untuk membentengi persatuan kita sesama umat Islam. Ketiga hal ini termasuk dalam hak dan kewajiban ukhuwah yang ditetapkan dalam Islam.
Pertama, menutup aib saudara seiman. Rasa-rasanya tidak ada manusia yang terbebas dan bersih dari aib, cacat dan kekurangan diri. Setiap orang pasti punya kelemahan. Karenanya, tidak selayaknya kita menjadi bak bunyi pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak tampak, namun kuman di seberang lautan tampak.”
Kita harus mampu menahan diri untuk tidak membuka aib saudara kita. Kita jaga kehormatan mereka. Kita tutupi kekurangan dengan saling melengkapi dan menyempurnakan. Tidak dengan mengumbar aib mereka yang dapat menimbulkan ketersinggungan hingga berujung pada permusuhan.
Rasulullah ﷺ bersabda,
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ كَانَ لَهُ حِجَاباً مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa membela kehormatan saudaranya (sesama Muslim), maka hal itu menjadi penghalang untuknya dari api neraka.” (HR Tirmidzi).
Sabda Nabi ﷺ berikutnya: “Adalah kejahatan bagi seorang Muslim mempermalukan saudara Muslim lainnya.” (HR Muslim).
Kedua, memaafkan saudara seiman. Langkah kedua ini diperlukan dalam hubungan kita sebagai makhluk sosial. Di sela interaksi sosial yang kita lakukan mungkin ada friksi dan hal-hal lain yang mengakibatkan kesalah-pahaman.
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang lepas dari kesalahan. Karena pada dasarnya manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun, sebaik-baik manusia yang berbuat salah adalah yang segera menyadari, meminta maaf, menerima maaf, dan bertaubat.
Terkait dengan maaf memaafkan dijelaskan dalam Surat Al A’rof ayat 199
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
ilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”.
Yang dimaksud dengan jangan pedulikan adalah jangan berdebat dengan orang yang bodoh. Orang yang taqwa lembut hatinya untuk memaafkan orang lain. Maka derajat orang yang memaafkan adalah dekat dengan ketaqwaan.
Ketiga, berbaik sangka kepada sesama Muslim. Sikap baik sangka tidak berarti kita kehilangan kewaspadaan terhadap potensi kejahatan seseorang. Baik sangka adalah akhlak yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada para hamba-Nya. Kita dianjurkan untuk berbaik sangka kepada saudara kita. Tidak mudah terjebak dalam buruk sangka yang bisa mengakibatkan gangguan dalam hubungan antara sesama kita.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ال
ظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (Al-Hujurat:
Penceramah : Ustd. Abdul M.Amin